PERILAKU seksual berisiko yang dapat mengakibatkan tertular infeksi menular seksual (IMS)—termasuk HIV/AIDS serta kehamilan tak dikehendaki di kalangan remaja—perlu mendapat perhatian serius. Pendidikan kesehatan reproduksi sepatutnya diberikan sejak anak di sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA).
Masalah reproduksi perlu dibicarakan secara terbuka, sehingga anak dan remaja memahami bagaimana organ seksual bekerja, tidak panik lagi jika mengalami menstruasi pertama bagi perempuan, dan mimpi pertama bagi laki-laki. Pada saat itu secara biologis mereka dewasa, namun secara psikologis dan sosial, belum. Pendidikan kesehatan reproduksi diperlukan agar mereka lebih berhati-hati menjaga kesehatannya.
Masalah lain yang menjadi ancaman adalah penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat-zat adiktif (NAPZA). Pemakaian NAPZA membuat anak menjadi tidak sadar, berubah kepribadian, serta mengalami adiksi (kecanduan).
Pembinaan kesehatan di sekolah dipandang merupakan strategi yang tepat, mengingat sebagian besar waktu anak sekolah dihabiskan di sekolah dan sepertiga penduduk
Hal ini telah dirintis sejak tahun 1956 dengan pengembangan model Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Untuk memantapkan pembinaan UKS secara terpadu, 3 September 1984 ditetapkan Surat Keputusan Bersama antara Menteri Pendidikan, Menteri Kesehatan, dan Menteri dalam Negeri tentang pembentukan Tim Pembina UKS tingkat pusat. Hal ini diikuti tim pembina tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, serta Tim Pelaksana UKS di sekolah.
Dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan disebutkan, kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat, sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.
www.gizi.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar